







zainul hasan islamic boarding school for edocation and science
ADAB PENUNTUT ILMU
Menuntut ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan yang mengajarkannya.
Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya adalah:
1. Ikhlas karena Allah I .
Hendaknya niat kita dalam menuntut ilmu adalah kerena Allah I dan untuk negeri akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah e telah memberi peringatan tentang hal ini dalam sabdanya e :
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang pelajari hanya karena Allah I sedang ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan mata-benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau sorga pada hari kiamat".( HR: Ahmad, Abu,Daud dan Ibnu Majah
Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya ) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar.
2.Untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Semua manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk meng-hilangkan kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu kita.
Apakah disyaratkan untuk memberi mamfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian ataukah kita memberi mamfa'at pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah e bersabda :
"Sampaikanlah dariku walupun cuma satu ayat (HR: Bukhari)
Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at.
Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at. Karena kedudukan syari'at sama dengan pedang kalau tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid'ah), sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah e. Hal ini tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk Al-Qor'an dan As-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena persoalaan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf. Berbeda dalam masalah ijtihad, perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa Rasulullah e masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita.
5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Termasuk adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).
6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.
Penuntut ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama.
7. Mencari kebenaran dan sabar
Termasuk adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan kitab yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari yang kita tuntut.
Di samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu 'Alam.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."
Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu ?"
Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." Kemudian ia membaca ayat, (artinya): "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)
Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?" (An-Nisa': 125)
Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.
Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23)
Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, "Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajad dan ketinggian karenanya."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, (artinya):
"Tiga perkara, yang hati orang mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka." (HR. At-Thirmidzi dan Ahmad)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan, manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.
Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, mujahid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah qari', fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.
Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas darinya'." (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain disebutkan; "Allah berfirman pada hari kiamat, 'Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalanmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian." (HR. Muslim)
Banyak difinisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shidq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.
Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."
Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."
Yusuf bin Al-Husain berkata. "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun."
Al-Imam Ibnu Abil 'Izzi
Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Dua Bentuk Penyakit Hati:
Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an.
Allah berfirman, artinya:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.
Allah juga berfirman, artinya:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..." (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
"Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)." (At-Taubah : 125)
Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya.
Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati." *). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya, berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi. Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan. Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat, yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor, ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada teman, dan takut sendirian.
Menyembuhkan Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat:
Gejala penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat.
Sesungguhnya Allah berfirman:
"Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh." (Fushshilat : 44)
Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.
*) [Penggalan akhir bait sya'ir Al-Mutanabbi, yang mana penggalan awalnya adalah: "Orang yang hina, akan mudah mendapat kehinaan"]
Tag: akhir zaman, Berita, berita palestina, biadab, Dunia Islam, fatwa palestina, foto, foto bayi palestina, gaza, hamas, huru-hara, Info Palestina, Internasional, islam, israel, israil, jihad, krisis gaza, nasrani, palestina, palestina update, perang, Timur Tengah, yahudi, zionis
Pesantren dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan memiliki peran untuk mempersiapkan kader yang akan berkiprah dan membangun masyarakat menuju kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Upaya kearah ini tentunya harus diupayakan secara sistematis dan efektif sesuai dengan tujuan pesantren secara umum. Pendidikan dan pembinaan santri adalah serangkaian upaya pendidikan baik kepesantrenan maupun pendidikan formal. Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghantarkan santri menuju sebuah tipe pribadi manusia muslim yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah maupun rohaniyah sesuai dengan visi misi Pondok Pesantren zainul hasan.
Pembinaan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang menambah cakrawala berfikir serta pembentukan sikap mental-spiritual, bertingkah laku sesuai dengan tatakrama dan berakhlakul-karimah sesuai dengan kultur (Budaya) Pesantren. Pendidikan dan Pembinaan santri tidak hanya meliputi pendidikan keilmuan dan pengembangan wawasan, akan tetapi juga meliputi pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang harus dimiliki santri untuk siap memasuki dunia yang lebih nyata.
Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PZH genggong adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna.
Akhir-akhir ini, relasi pesantren dengan masyarakat, banyak disorot berbagai kalangan. Pesantren dianggap tidak lagi merakyat, jauh dari dan menjaga jarak dengan masyarakat. Malah ada yang sedikit lebih radic; pesantren diklaim tidak memiliki kiprah apa-apa dalam pengembangan masyarakat. Sorotan serupa ini, tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dijawab oleh pesantren. Sebab, tidak ada asap kalau tidak ada api.
Pertanyaannya: benarkah relasi pesantren dengan masyarakat mulai renggang? Sahihkah klaim bahwa pesantren tidak memiliki andil apapun dalam pengembangan masyarakat? Dakwah dengan Kiprah Nyata Sebuah qaul hikmah berbunyi; 'al-da'wah laisat mujarrada tablighin wa lakin akhlaqun wa sulukun/dakwah tidak semata penyampaian lisan, melainkan akhlak dan teladan [baca: kiprah nyata].
Qaul hikmah ini, sudah semestinya dihayati secara matang oleh pesantren untuk kemudian diimplementasikan dalam tataran yang riil. Bahwa dakwah tidak cukup hanya melulu orasi, melainkan kiprah nyata, memang harus mendapat porsi pemikiran tersendiri. Karenanya, sedikit mengutip ucapan Hassan Hanafi 'filosof Mesir kontemporer' dalam Islam in Modern World: teori tanpa kiprah nyata, tidak ada artinya apa-apa. Mending teori salah, tapi kiprah nyata ada, ketimbang ada teori tapi miskin kiprah nyata. Itu artinya, kiprah nyata menjadi tolok ukur kemanfaatan kita (baca: pesantren) bagi masyarakat luas.
Kenapa kiprah nyata begitu penting dikedepankan? Sebab pada tingkat kiprah nyata itulah, sumbangsih dan dedikasi yang benar-benar bermanfaat dapat dirasakan masyarakat. Pada gilirannya, pesantren akan mendapat tempat yang layak dan nyaman di hati masyarakat. Dan sejatinya, kesalehan sosial seperti itulah yang harus ditunjukkan pesantren. Atau dengan kata lain 'mengutip Faqihuddin Abdul Kodir' tunjukkan kesalehan individual melalui kesalehan sosial, dalam hal ini melalui kiprah nyata pesantren dalam pengembangan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya; kiprah nyata seperti apa yang harus dimainkan pesantren, sehingga pesantren bisa benar-benar menunjukkan kesalehan individualnya melalui kesalehan sosial? Jawabannya, tentu saja tidak melalui kiprah nyata dalam bidang pendidikan agama. Keilmuan-agama yang selama ini diajarkan dan menjadi ciri khas pesantren, kendati telah berhasil menciptakan 'revolusi keberagamaan'pada masyarakat, untuk saat ini dianggap telah 'usai'.
Peran yang sudah menjadi dagangan pesantren secara umum dan luas itu sudah cukup! Sehingga, pesantren perlu memberikan tawaran dagangan lain dalam bentuk kiprah nyata pada masyarakat, sebagai senjata menghadapi gempuran globalisasi. Kiprah nyata itu akan mencerminkan kaidah fiqhiyyah 'al-mutaaddy afdhal min al-qashir/kiprah yang manfaatnya dirasakan orang lain (baca: masyarakat) lebih utama, ketimbang yang efeknya dinikmati diri sendiri. Sebab itu pula, pesantren sebagai agent of change atau social engineering dan kyai seperti tesis Clifford Geertz sebagai cultural broker atau makelar kebudayaan 'dalam bahasa Gus Dur' tidak seharusnya berdiam diri atau tidak merasa bertanggung jawab atas berbagai persoalan yang melilit masyarakat. Pesantren harus merespon dan sigap atas semua itu. Itu artinya, pesantren niscaya memposisikan diri sebagai jembatan penyambung antara kebutuhan masyarakat dengan tuntutan zaman yang mereka hadapi. Peran itu sangat mungkin dimainkan pesantren, mengingat keberadaannya yang diantara dua dunia; dunia pedesaan dan dunia luar. Keberadaannya yang di pedesaan, membuat pesantren bisa mengerti apa-apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan keberadaannya yang bersentuhan dengan dunia luar, pesantren dimungkinkan bisa mengerti senjata apa saja yang harus dipunyai masyarakat dalam menghadapi pertarungan di era global ini.
Kiranya perlu disadarai bersama, bahwa di era global ini, masyarakat tidak hanya dituntut piawai dalam bidang ilmu agama. Agama toh hanya difungsikan 'tak lebih' sebagai benteng moral. Agama bukan alat untuk merebut kemenangan dalam dunia yang kian kompetitif ini. Masa kejayaan agama, kini telah 'lewat'. Karenanya, untuk menghadapi zaman yang tingkat kompetitifnya kian menggila itu, bukan benteng moral saja yang kudu dipentingkan, melainkan penanaman skill dan upaya-upaya pengembangan dalam sektor modern; seperti koperasi, jasa, tehnologi tepat guna, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang akan turut membantu masyarakat dalam menjawab tuntutan zaman modern ini. Itulah dakwah dengan kiprah nyata (da'wah bi al-hal) yang harus dimainkan pesantren.
Meneropong Kiprah Pesantren; Dulu dan Kini Selama ini, ada pandangan yang cukup membanggakan hati pesantren, bahwa pesantren yang memamang memiliki tradisi mandiri kuat dan keberadaannya yang sudah lama di pedesaan, acapkali dianggap dan bahkan diyakini sebagai pintu masuk yang strategis untuk melakukan pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan (Dawam Raharjo: 1996). Karenanya, pesantren acapkali disebut sebagai agent of change atau social engineering. Sebutan itu tidak mengada-ada dan bahkan cukup tepat.
Namun demikian, kita juga perlu jujur dalam melihat keberadaan pesantren, dulu dan kini. Sebab, ada nuansa yang berbeda antara kiprah pesantren dulu dan pesantren kini. Malah, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, tesis bahwa pesantren sangat dekat dengan masyarakat, kini perlu dikaji ulang.
Dulu, pesantren memang betul-betul dekat dengan masyarakat, karena kemunculannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun kini? Banyak cibiran sinis yang dialamatkan pada pesantren. Dengan demikian, paling tidak, cibiran itu mengindikasikan, bahwa hubungan pesantren dengan masyarakat, bukan tanpa masalah sama sekali, terutama terkait kedekatan dan kiprah nyatanya dalam pengembangan masyarakat.
Selain itu, kehidupan pesantren, terutama saat ini, malah sering dianggap membuat sekat dan tidak lagi membaur dengan masyarakat. Ini misalnya ditandai dengan keberadaan pesantren yang dibentengi gedung (tembok) tinggi, yang pada gilirannya malah 'menodai' keintiman hubungan dengan mereka. Bila kenyataan ini benar, tentu saja perlu ada pemikiran baru bagi pesantren, supaya kiprah nyatanya benar-benar terasakan masyarakat. Sehingga, ucapan radikal Ivan Illich "lembaga pendidikan yang membuat sekat dengan masyarakat, hancurkan saja!" tidak seharusnya menimpa pesantren. Sebab, bila pesantren kian jauh dan kian tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat, tak mustahil badai ucapan Illich benar-benar akan menerpa pesantren. Bila itu terjadi, tentu saja kaum muslim Indonesia akan kehilangan kekayaan peradaban yang selama ini dibanggakan. Pesantren benar-benar hanya akan menjadi artefak peradaban yang tak punya efek kemasyarakatan apapun. Selain itu, bila pesantren hanya getol mengembangkan pendidikan keagamaan, pesantren malah akan menjadi semacam museum. (Suyata; 1985).
Dengan demikian, pesantren diharapkan turut memberi investasi sosial bagi masyarakat. Dan salah satu cara membuat pesantren menjadi hidup, adalah dengan membawa persoalan-persoalan nyata di masyarakat ke dalam dunia pesantren.
Kita pun lalu bertanya; di luar dunia pendidikan agama, peran nyata apa yang selama ini telah ditorehkan pesantren untuk pengembangan masyarakat? Berdasarkan sisi historis, secara umum, pada awalnya hampir semua pesantren menempati dan memiliki lahan cukup luas. Keluasan lahan itu, biasanya dimanfaatkan pihak pesantren untuk memberikan pendidikan skill pertanian pada para santri dan masyarakat sekitar. Misalnya, pesantren mengajarkan bagaimana cara menanam padi, jagung, palawija, terong, dan sebagainya.
Di luar kegiatan formal pesantren, para santri dan masyarakat sekitar, secara langsung terjun ke lahan untuk mempraktikkan skill pertanian itu. Malah pasca 70-an, tepatnya setelah Menteri Agama ketika itu, Dr Mukti Ali, melontarkan gagasan pendidikan keterampilan dan pengembangan masyarakat di pesantren, kiprah kemasyarakatan pesantren kian menampak. Hanya saja, gagasan brilian itu, belum mendapatkan formulasinya secara jelas untuk dilaksanakan. Baru pada tahun 1977, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat (LP3ES) mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) I di Pesantren Pabelan, Muntilan, diikuti berbagai kalangan pesantren. Lalu disusul dengan LTPM II pada tahun 1979/1980 khusus pesantren yang ada di Jawa Timur.
Pada dua pelatihan itu, tercatat tak kurang dari 15 pesantren yang mengikuti kegiatan itu. Jenis keterampilan kemasyarakatan yang diajarkan saat itu antara lain: pembuatan tungku lorena, pompa tali, penjilidan buku, bumbu semen, ferro semen, serat semen, pembudidayaan jamur merang, mesin tetas telur, perontok padi, ternak kelinci, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang kemudian dikembangkan oleh 15 pesantren di lingkungannya masing-masing itu, menyedot tak kurang 2.072 tenaga (pekerja) masyarakat.
Dengan demikian, pesantren turut membantu memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tentu saja, untuk tuntutan zaman saat itu yang belum terlampau neko-neko seperti sekarang, skill-skill di atas cukup membantu pengembangan pesantren dan masyarakat. Dengan keahlian bercocok tanam, karena memiliki lahan luas dan sekidit keahlian dalam tehnologi tepat guna, pesantren dan masyarakat dapat mempertahankan kehidupannya secara cukup layak.
Lalu, bagaimana dengan kiprah pesantren saat ini? Banyak hal yang perlu dibenahi pesantren. Lahan-lahan luas pesantren sudah banyak berkurang, karena diwariskan pada keturunan dinasti kyai (bila tanah itu milik pribadi/non-wakaf) atau karena pengaruh globalisasi yang meniscayakan pembanhungan di mana-mana.
Kenyataan ini, pada gilirannya memudarkan skill pertanian pesantren dan masyarakat sekitar. Bahkan dalam taraf tertentu, cukup membahayakan perekonomian masyarakat. Sebab, lahan yang dulunya dijadikan gantungan penghidupan, kini telah tiada. Lebih dari itu, kini tuntutan-tuntutan yang dihadapi masyarakat kian beragam dan modern. Bila pesantren bisa membantu pengembangan masyarakat: so what?
berdirinya pesantren zainul hasan sejak awal pendiriannya dikenal dengan sebutan pondok pesantren genggong yang didirikan oleh KH Zainal abidinpada tahun1839 H/1250 H.yang terletak di desa karangbong kecamatan pajarakan kabupaten probolinggo di bangun di atas tanah seluas:
1 luas areapesantren zainul hasan putra putri 10 ha
2 area pendidikan 10 ha
dan memiliki 20 000 (dua puluh ribu santri)indosia,malaysia,singapore
asal muasal nama genggong
sebenarnya nama genggong yang identik dengan pesantren zainul hasan adalah nama dari sebuah bunga yang banyak terdapat di daerah kawasan pesantren pada zaman dahulu. bunga ini memiliki sejarah tersendiri di pesantren ini.
Keberhasilan mengembangkan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang terbilang modern ini tak lepas dari sentuhan profil pengasuh pesantren yakni KH Mohammad Hasan Mutawakil Alallah. Ia adalah seorang Kyai yang terbilang dinamis dalam mengembangkan baik sarana fisik pesantren maupun dalam perannya yang dikenal cukup mewarnai dalam dinamika politik kebangsaan.
KH Mutawakil dilahirkan di Genggong pada 22 April 1959. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia sangat terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyenangi pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits.
Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Jogjakarta.
Sesampainya di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas terpopuler di belahan negara Timur Tengah itu.
Sebenarnya saat menempuh kuliah di Al Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran studi. Menurutnya pelajaran yang di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu ada kelebihan dari pengajarnya dan adanya praktek langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris.
Saat menempuh kuliah di Al Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke luar negeri. Misal, ke Frankrut (Jerman), Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran (waiter) di beberapa negara yang ia kunjungi.
Namun dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata akhlak Islam ternyata ada di Barat, bukan di Saudi. Jadi akhlaq yang ada di Saudi itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Walau pun tidak semua, umumnya mereka pada kasar. Mereka tidak menghargai, egois dan tidak memberikan hak sepenuhnya pada pekerja. Itu kasusnya banyak, itu saya lihat,” akunya.
Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT