Jumat, 10 April 2009

pendidikan

Pesantren dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan memiliki peran untuk mempersiapkan kader yang akan berkiprah dan membangun masyarakat menuju kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Upaya kearah ini tentunya harus diupayakan secara sistematis dan efektif sesuai dengan tujuan pesantren secara umum. Pendidikan dan pembinaan santri adalah serangkaian upaya pendidikan baik kepesantrenan maupun pendidikan formal. Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghantarkan santri menuju sebuah tipe pribadi manusia muslim yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah maupun rohaniyah sesuai dengan visi misi Pondok Pesantren zainul hasan.

Pembinaan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang menambah cakrawala berfikir serta pembentukan sikap mental-spiritual, bertingkah laku sesuai dengan tatakrama dan berakhlakul-karimah sesuai dengan kultur (Budaya) Pesantren. Pendidikan dan Pembinaan santri tidak hanya meliputi pendidikan keilmuan dan pengembangan wawasan, akan tetapi juga meliputi pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang harus dimiliki santri untuk siap memasuki dunia yang lebih nyata.

Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PZH genggong adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna.

Akhir-akhir ini, relasi pesantren dengan masyarakat, banyak disorot berbagai kalangan. Pesantren dianggap tidak lagi merakyat, jauh dari dan menjaga jarak dengan masyarakat. Malah ada yang sedikit lebih radic; pesantren diklaim tidak memiliki kiprah apa-apa dalam pengembangan masyarakat. Sorotan serupa ini, tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dijawab oleh pesantren. Sebab, tidak ada asap kalau tidak ada api.

Pertanyaannya: benarkah relasi pesantren dengan masyarakat mulai renggang? Sahihkah klaim bahwa pesantren tidak memiliki andil apapun dalam pengembangan masyarakat? Dakwah dengan Kiprah Nyata Sebuah qaul hikmah berbunyi; 'al-da'wah laisat mujarrada tablighin wa lakin akhlaqun wa sulukun/dakwah tidak semata penyampaian lisan, melainkan akhlak dan teladan [baca: kiprah nyata].

Qaul hikmah ini, sudah semestinya dihayati secara matang oleh pesantren untuk kemudian diimplementasikan dalam tataran yang riil. Bahwa dakwah tidak cukup hanya melulu orasi, melainkan kiprah nyata, memang harus mendapat porsi pemikiran tersendiri. Karenanya, sedikit mengutip ucapan Hassan Hanafi 'filosof Mesir kontemporer' dalam Islam in Modern World: teori tanpa kiprah nyata, tidak ada artinya apa-apa. Mending teori salah, tapi kiprah nyata ada, ketimbang ada teori tapi miskin kiprah nyata. Itu artinya, kiprah nyata menjadi tolok ukur kemanfaatan kita (baca: pesantren) bagi masyarakat luas.

Kenapa kiprah nyata begitu penting dikedepankan? Sebab pada tingkat kiprah nyata itulah, sumbangsih dan dedikasi yang benar-benar bermanfaat dapat dirasakan masyarakat. Pada gilirannya, pesantren akan mendapat tempat yang layak dan nyaman di hati masyarakat. Dan sejatinya, kesalehan sosial seperti itulah yang harus ditunjukkan pesantren. Atau dengan kata lain 'mengutip Faqihuddin Abdul Kodir' tunjukkan kesalehan individual melalui kesalehan sosial, dalam hal ini melalui kiprah nyata pesantren dalam pengembangan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya; kiprah nyata seperti apa yang harus dimainkan pesantren, sehingga pesantren bisa benar-benar menunjukkan kesalehan individualnya melalui kesalehan sosial? Jawabannya, tentu saja tidak melalui kiprah nyata dalam bidang pendidikan agama. Keilmuan-agama yang selama ini diajarkan dan menjadi ciri khas pesantren, kendati telah berhasil menciptakan 'revolusi keberagamaan'pada masyarakat, untuk saat ini dianggap telah 'usai'.

Peran yang sudah menjadi dagangan pesantren secara umum dan luas itu sudah cukup! Sehingga, pesantren perlu memberikan tawaran dagangan lain dalam bentuk kiprah nyata pada masyarakat, sebagai senjata menghadapi gempuran globalisasi. Kiprah nyata itu akan mencerminkan kaidah fiqhiyyah 'al-mutaaddy afdhal min al-qashir/kiprah yang manfaatnya dirasakan orang lain (baca: masyarakat) lebih utama, ketimbang yang efeknya dinikmati diri sendiri. Sebab itu pula, pesantren sebagai agent of change atau social engineering dan kyai seperti tesis Clifford Geertz sebagai cultural broker atau makelar kebudayaan 'dalam bahasa Gus Dur' tidak seharusnya berdiam diri atau tidak merasa bertanggung jawab atas berbagai persoalan yang melilit masyarakat. Pesantren harus merespon dan sigap atas semua itu. Itu artinya, pesantren niscaya memposisikan diri sebagai jembatan penyambung antara kebutuhan masyarakat dengan tuntutan zaman yang mereka hadapi. Peran itu sangat mungkin dimainkan pesantren, mengingat keberadaannya yang diantara dua dunia; dunia pedesaan dan dunia luar. Keberadaannya yang di pedesaan, membuat pesantren bisa mengerti apa-apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan keberadaannya yang bersentuhan dengan dunia luar, pesantren dimungkinkan bisa mengerti senjata apa saja yang harus dipunyai masyarakat dalam menghadapi pertarungan di era global ini.

Kiranya perlu disadarai bersama, bahwa di era global ini, masyarakat tidak hanya dituntut piawai dalam bidang ilmu agama. Agama toh hanya difungsikan 'tak lebih' sebagai benteng moral. Agama bukan alat untuk merebut kemenangan dalam dunia yang kian kompetitif ini. Masa kejayaan agama, kini telah 'lewat'. Karenanya, untuk menghadapi zaman yang tingkat kompetitifnya kian menggila itu, bukan benteng moral saja yang kudu dipentingkan, melainkan penanaman skill dan upaya-upaya pengembangan dalam sektor modern; seperti koperasi, jasa, tehnologi tepat guna, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang akan turut membantu masyarakat dalam menjawab tuntutan zaman modern ini. Itulah dakwah dengan kiprah nyata (da'wah bi al-hal) yang harus dimainkan pesantren.

Meneropong Kiprah Pesantren; Dulu dan Kini Selama ini, ada pandangan yang cukup membanggakan hati pesantren, bahwa pesantren yang memamang memiliki tradisi mandiri kuat dan keberadaannya yang sudah lama di pedesaan, acapkali dianggap dan bahkan diyakini sebagai pintu masuk yang strategis untuk melakukan pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan (Dawam Raharjo: 1996). Karenanya, pesantren acapkali disebut sebagai agent of change atau social engineering. Sebutan itu tidak mengada-ada dan bahkan cukup tepat.

Namun demikian, kita juga perlu jujur dalam melihat keberadaan pesantren, dulu dan kini. Sebab, ada nuansa yang berbeda antara kiprah pesantren dulu dan pesantren kini. Malah, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, tesis bahwa pesantren sangat dekat dengan masyarakat, kini perlu dikaji ulang.

Dulu, pesantren memang betul-betul dekat dengan masyarakat, karena kemunculannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun kini? Banyak cibiran sinis yang dialamatkan pada pesantren. Dengan demikian, paling tidak, cibiran itu mengindikasikan, bahwa hubungan pesantren dengan masyarakat, bukan tanpa masalah sama sekali, terutama terkait kedekatan dan kiprah nyatanya dalam pengembangan masyarakat.

Selain itu, kehidupan pesantren, terutama saat ini, malah sering dianggap membuat sekat dan tidak lagi membaur dengan masyarakat. Ini misalnya ditandai dengan keberadaan pesantren yang dibentengi gedung (tembok) tinggi, yang pada gilirannya malah 'menodai' keintiman hubungan dengan mereka. Bila kenyataan ini benar, tentu saja perlu ada pemikiran baru bagi pesantren, supaya kiprah nyatanya benar-benar terasakan masyarakat. Sehingga, ucapan radikal Ivan Illich "lembaga pendidikan yang membuat sekat dengan masyarakat, hancurkan saja!" tidak seharusnya menimpa pesantren. Sebab, bila pesantren kian jauh dan kian tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat, tak mustahil badai ucapan Illich benar-benar akan menerpa pesantren. Bila itu terjadi, tentu saja kaum muslim Indonesia akan kehilangan kekayaan peradaban yang selama ini dibanggakan. Pesantren benar-benar hanya akan menjadi artefak peradaban yang tak punya efek kemasyarakatan apapun. Selain itu, bila pesantren hanya getol mengembangkan pendidikan keagamaan, pesantren malah akan menjadi semacam museum. (Suyata; 1985).

Dengan demikian, pesantren diharapkan turut memberi investasi sosial bagi masyarakat. Dan salah satu cara membuat pesantren menjadi hidup, adalah dengan membawa persoalan-persoalan nyata di masyarakat ke dalam dunia pesantren.

Kita pun lalu bertanya; di luar dunia pendidikan agama, peran nyata apa yang selama ini telah ditorehkan pesantren untuk pengembangan masyarakat? Berdasarkan sisi historis, secara umum, pada awalnya hampir semua pesantren menempati dan memiliki lahan cukup luas. Keluasan lahan itu, biasanya dimanfaatkan pihak pesantren untuk memberikan pendidikan skill pertanian pada para santri dan masyarakat sekitar. Misalnya, pesantren mengajarkan bagaimana cara menanam padi, jagung, palawija, terong, dan sebagainya.

Di luar kegiatan formal pesantren, para santri dan masyarakat sekitar, secara langsung terjun ke lahan untuk mempraktikkan skill pertanian itu. Malah pasca 70-an, tepatnya setelah Menteri Agama ketika itu, Dr Mukti Ali, melontarkan gagasan pendidikan keterampilan dan pengembangan masyarakat di pesantren, kiprah kemasyarakatan pesantren kian menampak. Hanya saja, gagasan brilian itu, belum mendapatkan formulasinya secara jelas untuk dilaksanakan. Baru pada tahun 1977, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat (LP3ES) mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) I di Pesantren Pabelan, Muntilan, diikuti berbagai kalangan pesantren. Lalu disusul dengan LTPM II pada tahun 1979/1980 khusus pesantren yang ada di Jawa Timur.

Pada dua pelatihan itu, tercatat tak kurang dari 15 pesantren yang mengikuti kegiatan itu. Jenis keterampilan kemasyarakatan yang diajarkan saat itu antara lain: pembuatan tungku lorena, pompa tali, penjilidan buku, bumbu semen, ferro semen, serat semen, pembudidayaan jamur merang, mesin tetas telur, perontok padi, ternak kelinci, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang kemudian dikembangkan oleh 15 pesantren di lingkungannya masing-masing itu, menyedot tak kurang 2.072 tenaga (pekerja) masyarakat.

Dengan demikian, pesantren turut membantu memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tentu saja, untuk tuntutan zaman saat itu yang belum terlampau neko-neko seperti sekarang, skill-skill di atas cukup membantu pengembangan pesantren dan masyarakat. Dengan keahlian bercocok tanam, karena memiliki lahan luas dan sekidit keahlian dalam tehnologi tepat guna, pesantren dan masyarakat dapat mempertahankan kehidupannya secara cukup layak.

Lalu, bagaimana dengan kiprah pesantren saat ini? Banyak hal yang perlu dibenahi pesantren. Lahan-lahan luas pesantren sudah banyak berkurang, karena diwariskan pada keturunan dinasti kyai (bila tanah itu milik pribadi/non-wakaf) atau karena pengaruh globalisasi yang meniscayakan pembanhungan di mana-mana.

Kenyataan ini, pada gilirannya memudarkan skill pertanian pesantren dan masyarakat sekitar. Bahkan dalam taraf tertentu, cukup membahayakan perekonomian masyarakat. Sebab, lahan yang dulunya dijadikan gantungan penghidupan, kini telah tiada. Lebih dari itu, kini tuntutan-tuntutan yang dihadapi masyarakat kian beragam dan modern. Bila pesantren bisa membantu pengembangan masyarakat: so what?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar